Permainan si Kaya dan si Miskin

 Ada apa dengan permainan ini? Bagaimana ia ada sejak dulu? Dimana kah bagian-bagian yang membedakannya pada waktu itu dan saat ini? Apakah ras dan di negara mana kita tinggal turut andil di dalamnya? Berlalunya kedua konsep ini dari waktu ke waktu membuatnya menjadi semakin seru untuk dipermainkan. Di era digital permainan ini juga menjadi semakin samar saja. Mari kita sebut kamuflase, kemasan dan tentu saja tampilan. Jangan lupakan eksistensi dan konsistensinya. Dalam naskah cerita kami menyebutnya dengan alur. Tidak mungkin kita bisa mengenali keaslian dan keutuhan tokoh-tokoh secara keseluruhan jika hanya mengikuti satu babak cerita saja. Pertanyaan berlalu pada, ada berapa babak di dalamnya? Apakah cerita itu menggunakan alur maju mundur? Atau linear saja?


Tentu saja tulisan ini bukan dibuat untuk tujuan tanding-tandingan perjuangan siapa yang termiskin saat ini maupun mencari si kaya yang bersembunyi. Kembali lagi, perlu diingatkan bahwa konsep miskin dan kaya adalah istilah yang penggunaannya cukup berlebihan dan belepotan sehingga terlalu usang untuk digunakan dalam kajian dan penelitian kebudayaan. Lalu, apa yang membawanya kembali ke permukaan? Bukan hanya dari beberapa waktu lalu melalui terma baru "booming" tahun lalu seperti privilege dan tidak habis dibahas dalam isu-isu kelas yang sangat menarik untuk dimeriahkan salah satunya adalah dengan piala Oscar dari Bong Joon Ho (Parasite 2019) untuk dunia. Tidak menutup kemungkinan akan selalu ada persoalan baru mengenainya. Maaf, bukan persoalan baru. Tapi pendalaman terminologi dan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu konsep. Kaya - miskin, di dalamnya terdapat privilese, komparasi dan sebagainya. Berbagai terma akan selalu mengantre disana, mungkin kita belum membahasnya secara keseluruhan. Dalam tulisan ini, izinkan saya membahasnya serampangan saja, pada suatu malam yang mengingatkan tersesatnya saya ke lapisan-lapisan yang sungguh tipis dan samar mengenai si kaya dan si miskin yang masih menjadi tajuk utama keseharian. Gap yang sebaiknya dihiraukan bagi mereka yang mengalami persoalan pelik sedari kecil, oleh karenanya mempertanyakan mengapa ia harus terlahir di dunia ini. Akibat sangat miskin. Pertanyaan yang sangat jelas bagi Zain, seorang anak (dari film Capernaum 2018) yang saat ditanyai di pengadilan malah memprotes balik di hadapan orang tuanya, kenapa mereka melahirkannya dan meminta agar mereka berhenti melahirkan anak ke muka bumi ini.


Kenapa tragedi dan kemalangan hanya diceritakan melalui kehidupan orang-orang yang terlihat lusuh dan mungkin tak mandi sementara orang-orang yang mengkilat memelihara drama-drama yang bergengsi persoalan harga diri dan rumah tangga yang dingin? Kemudian saya teringat kembali pada tahun 2014 saat sedang bergaul dengan keluarga Ibu S, seorang pemulung sampah dan lingkungan rumahnya yang hangat. Saya bersumpah, cerita yang ingin saya sampaikan adalah persoalan keintiman-keintiman keluarga mereka. Bagaimana mereka bekerja sama dan dengan kocak mengakhiri malam usai bekerja. Betapa naifnya saya mempresentasikan kebahagiaan keluarga Bu S kepada para mentor sementara trailer film kami menunjukkan betapa kumuhnya pekerjaan mereka, bergelut dengan sampah-sampah perkotaan. Tentu saja ketika seorang anaknya ikut bersama kami ke Jakarta untuk perilisan film tersebut di salah satu gedung dengan sistem keamanaan tertinggi di Jakarta, tidak ada clue baginya untuk datang dengan mengenakan baju terbaik, ia dipanggil ke depan untuk diskusi usai pemutaran film, yang sama saja seperti diskusi elegan pada eksibisi mewah lainnya, memasuki beberapa babak betapa seksinya isu lingkungan pada saat itu. Begitu banyak pertanyaan audiens yang menghambur ke film kami hingga akhirnya seorang audiens yang cukup kritis, mungkin ia adalah seorang reporter yang diundang eksklusif (sebab sudah ketiga kalinya ia bertanya) kemudian ingin mendengarkan langsung jawaban dari subyek kami. Pada tahun 2016 di saat pertengahan tahun baru dimulai anak sulung Bu S berkata “Saya tidak menyangka, bahwa keluarga saya terlihat seperti itu di dalam film. Saya akan berusaha lebih baik lagi untuk memperbaiki keadaan kami.” dua penggal kalimat yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan si penanya yang kemudian memutuskan untuk tidak menanyakan kembali pertanyaannya. Kalimat itu adalah satu-satunya suara yang dikeluarkan Daeng Sapa selama keberadaannya di acara tersebut dan selama 3 hari berada di Jakarta. Jika si penanya tidak menujukan pertanyaan langsung kepadanya disana, mungkin dia hanya akan diam selamanya. Bungkam, tidak lebih dari sebuah pajangan yang kebingungan pada satu waktu di sebuah bangunan yang disebut Erasm*s Mundus. Menyicipi kudapan, merasakan nuansa ke-eleganan dan mungkin menjadi sedikit bagian di dalamnya, melihat orang-orang yang berpakaian rapih dan wangi berlalu lalang di depannya.


Sementara saya adalah seorang pecundang besar pada malam itu. Tidak bisa berkata apa-apa dan merasa semuanya berlalu begitu cepat. Menyesali hal-hal dan tidak sanggup menatap Daeng Sapa. Tidak, sedikitpun saya tidak pernah menyalahkan diri sendiri, si pemberi modal, seseorang atau dua orang yang bersama saya, maupun orang-orang yang bertanya pada malam itu. Sementara menyesalinya hanya memperlihatkan kelicikan atas pilhan-pilihan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Maka mengulang tragedi berbeda dengan dasar yang sama merupakan pertanda dari bobroknya mental dalam pembelajaran. Keberadaan Daeng Sapa disana merupakan suatu berkah untuk seluruh kehidupan saya. Meromantisir keadaan keluarganya ke dalam proses pembuatan film dan memperlihatkannya kepada orang-orang. Dan kini melalui tulisan ini pun saya masih mampu mendramatisir kejadian pada malam itu, apakah ini terlihat seolah-olah seperti  peghapusan dosa? Terhadap Daeng dan keluarga-keluarga yang menjalani keseharian seperti Ibu S. Saya hanyalah anak manja yang hampir saja celaka selamanya jika saja Daeng tidak berada disana pada malam itu. Apakah saya tidak akan memiliki kesadaran seperti ini jika saja ia tidak hadir disana? Apakah jiwa saya akan lebih aman jika saja saya tidak memilih keluarga Ibu S untuk diceritakan?


Ironi, hah betapa anu nya kata itu., ironi yang ada mengenai si kaya dan si miskin salah satunya adalah keseluruhan sistem tadi. Siapa yang merasa terbantukan sebenarnya bahkan ketika nasibnya lebih baik daripada yang lainnya? Kita tidak membantu apa-apa. Kita tidak pernah membantu apa-apa bahkan dengan memberikan setengah dari jumlah uang yang kita punya. Lalu, sementara hal-hal dasar seperti tadi masih terjebak di suatu tempat antah barantah, sekelompok anak yang memimpikan tas-tas mahal dan liburan mewah sudah merasa sungguh dermawan dengan memberikan dua puluh ribu perak kepada pengemis yang melewatinya pada hari itu dan tip tip kecil untuk para pelayan. Tentu saja mereka lebih baik ketimbang anak-anak kaya lainnya yang lebih tidak tahu sopan santun bukan? Tapi mengapa anak-anak ini masih saja ketakutan persoalan citra dan harga diri mereka? Apakah mempertaruhkan perut sama dengan mempertaruhkan harga diri?


Tulisan ini sempit sekali membahas persoalan si kaya dan si miskin yang hanya merujuk kepada benar-benar benda materil keseharian. Penulis tidak akan terselamatkan di dalam pikirannya sendiri jika harus menggabungkan konsep materil dengan bagaimana kaya dan miskin dibahas pada persoalan rohaniah. Si kaya pada dahulu kala adalah orang-orang dengan darah kebangsawanan dengan kesadaran untuk mengemban tanggung jawab yang besar demi kesejahteraan yang lainnya. Semakin berlalunya waktu, “memudarnya” darah kebangsawanan  maupun darah pemangku adat menjadi sebab bobroknya sikap-sikap “kekayaan" yang dimiliki orang-orang saat ini. Pada zaman dimana hampir semua hal menjadi cair seperti ini, siapakah yang memegang kemudi dan kemana kemudi itu diarahkan? Maka dari itu, ras dan negara tidak mengambil peranan besar di dalamnya kini. Yang berpotensi untuk bersikap progresif adalah kalangan menengah yang mendapatkan akses dan juga mampu melihat ke segala arah. Apapun darahnya. Orang-orang yang mampu berada dimana saja adalah harapan dari gerakan yang revolusioner, sejak dulu hingga kini. Menghardik orang-orang yang berfoya-foya merupakan sifat rendahan yang paling mungkin untuk ditunjukkan selain memamerkan di sosial media betapa mulianya yang masih mampu berbagi, namun tidak melakukan apa-apa juga bukanlah pilihan terbaik yang ada. 


Permainan si kaya dan si miskin adalah permainan yang mungkin saja paling menyenangkan bagi sebagian besar kaum menengah. Yang benar-benar miskin mungkin tidak ada waktu untuk memainkannya, mereka sibuk bertarung. Sementara yang benar-benar kaya tentu saja juga sibuk dengan persoalan eksklusifnya sendiri. Maka yang masih ketakutan karena berada diantaranya, baik si kaya menengah maupun si miskin menengah adalah orang-orang yang belum menyelesaikan mental eksistensinya di muka bumi. Sayang sekali, padahal mereka lah yang paling berpotensi dalam kalkulasi tadi. Bagaimanapun, ini adalah permainan yang sangat menyenangkan jika tidak ada yang mengungkapnya. Akan lebih baik jika citranya samar kini, segenap sumber yang ada dikerahkan untuk menjadi kamuflase yang terkemas dan dirangkum dengan mulus secara maya maupun pada pertemuan langsung, kata dan benda. Tidak malu memperlihatkan ketidakmampuan serta menurunkan mutu dan standar memiliki tingkat keburukan yang sama dengan banyaknya kuantitas yang mengesampingkan kualitas . Jika ukuran hanya mencapai kulit luarnya saja, pemberian apapun itu akan kehilangan maknanya. Apa senangnya meng-aku pada hal-hal seperti ini? Mengapa kita tidak berfokus melihat dalam-dalam kepada mata-mata yang masih mampu kita raih, sebelum semuanya menjadi semakin terlambat? Dalam keseharian kita persoalan si kaya dan si miskin sudah bukan mengenai bagaimana itu memberi dan siapa yang menerima kembali. Tetapi persoalan citra dan ketakutan-ketakutan di sekitarnya, perasaan sendiri dan tidak tertolong. Tentang betapa butanya saya akibat kesibukan, hanya mengurusi diri sendiri dan tidak membangun keakraban bersama Daeng Sapa, agar setidaknya dia bisa merasa presentable, dan mungkin sedikit bisa menutupi kebingungannya pada malam itu. 




Coming up writings this week!: Activism is Not The Key, And So Does Filmmaking

Komentar

Postingan Populer