When Life Gives You Tangerines
Sulit sekali untuk berhenti menangis sesenggukan saat menonton ‘Tangerine’. Padahal awalnya saya cuma mau menonton 4 episode yang ada Park Bo gum nya saja. Namun pada akhirnya saya menyelesaikan 16 episode yang diupload secara 4x atau 4 fase dalam hidup Ae Sun, begitu saya menyebutnya di setiap minggu pada bulan maret tahun ini. Sepertinya ini adalah series yang ditujukan agar keluarga, terutama pasangan muda menyambut dan menemukan musim semi mereka masing-masing.
Berat sekali rasanya menonton film ini, terutama di bagian-bagian yang menonjolkan bagaimana patriarki di dalam keluarga menjadi persoalan yang mengakar secara sistemik. Patriarki yang pelik ini, bahkan diamini dan dipahami oleh sebagian perempuan yang bersedia melakukannya atas kerelaan yang luar biasa. Alih-alih dilakukan sebagai wujud cinta, kerelaan perempuan di dalam sistem ini dianggap sebagai (lagi-lagi) pengorbanan yang terhormat. Namun Ae Sun, tokoh utama dalam film ini, meskipun ia miskin bukan main, hati kecilnya tidak tersentuh sedikitpun oleh sistem yang korup di masyarakat sebab sejak kecil di kampungnya, ia telah dipertemukan dengan seorang pemuda bernama Gwan Sik. Gwansik sejak kemunculannya, tidak pernah membayangkan sedetik hidupnya tanpa Aesun. Bahkan disaat Ae sun dan Gwan Sik kecil bersenda gurau bersama tante-tante hanyeo di pinggir laut dimana Ae Sun berangan ingin menjadi Presiden, Gwan Sik tanpa ragu turut mengamini dengan menjawab bahwa ia akan menjadi Ibu Negara. Setiap warga di kampung tumbuh bersama Aesun dan Gwansik, sedikit demi sedikit mulai memahami bagaimana cinta mereka bersemi.
Apakah cita-cita Gwansik yakni menjadi Ibu Negara merupakan suatu kemunduran bagi laki-laki atau suatu masyarakat pada tatanan sosial tertentu? Mengapa ketika secara sederhana terdapat seorang laki-laki yang ingin mendukung dan mengikuti perempuan, maka peristiwa tersebut mudah dianggap sebagai kemunduran pengaturan tertentu? When Life Gives You Tangerines mengajak kita mempertanyakan hal ini bersama. Masih relevan kah pekerjaan dapur hanya boleh disentuh oleh perempuan? Masih relevan kah perempuan tidak boleh mendekati kapal nelayan akibat mitos-mitos kesialan tertentu? Sumpah setengah mati saya benci sekali dengan suatu rumah yang dimana laki-lakinya tidak turut serta di dapur. Dengan mudahnya saya bisa mencap suatu keluarga mengalami disfungsi di saat ketidakseimbangan peran di dapur terlihat jelas di dalamnya. Sayangnya, hal-hal seperti itu begitu mudah terlihat melalui permukaan pada acara-acara keluarga yang digelar.
Tentu saja saya tidak akan masuk di persoalan siapa yang memiliki skill dan kemampuan apa. Meskipun skill masak memasak dan berburu adalah kemampuan dasar bertahan hidup yang sebaiknya dimiliki oleh setiap gender, kita telah kurang lebih paham tentang bagaimana pembagian peran terjadi sehingga membentuk sistem patriarkat maupun matriarkat. Maksud saya, meskipun saya berasal dari keluarga bugis yang membawa garis keturunan dari laki-laki secara kental, dalam penerapannya saya tinggal bersama seorang Ibu yang berperan lebih selain daripada urusan dapur. Hal-hal yang berbau konstruksi hingga berjualan daster sambil berpikir tentang investasi aset adalah keseharian beliau meski hanya lulusan SD. Dan setau saya, Ayah saya pun selain bekerja serabutan, kegiatannya di sore hari adalah membersihkan rumah selain dari mengolah ikan di dapur untuk dimakan bersama tanpa lupa mencuci piring dan perpancian. Setidaknya, seorang Ayah dalam benak saya bukanlah sosok yang berlalu begitu saja sambil mempertahankan bola matanya agar tidak melihat ke arah bak cuci piring dan sampah yang sudah harus dibereskan. Tangerine tidak membahas ini secara explisit namun membuat kita merasa bersyukur karena setidaknya Aesun dan Gwansik akhirnya keluar dari rumah keluarga Gwansik. Pasangan ini beranjak ke kamar kontrakan, dimana tidak ada seorangpun yang mempertanyakan kenapa Gwansik turut terlibat dalam urusan di dapur.
Lalu apakah persoalan patriarki hanyalah seremeh urusan siapa yang di dapur dan siapa yang berburu di luar rumah? Tentu saja ‘Tangerine’ membahas kompleksitas yang membelitnya dengan cara yang lembut dan penuh kesederhanaan. Ditulis oleh Lim Sang-choon dan disutradarai oleh Kim Won-seok, cerita dan aspek teknis, terutama soundtrack berpadu dengan sangat indah, menampilkan Park Bo-Gum dan Kim Seon-Ho dalam kemampuan terbaiknya sebagai dua sosok laki-laki teladan yang bisa didapatkan oleh setiap perempuan yang memimpikan kebebasan dalam mencintai. Sehingga, tentu saja kita tidak perlu mengkhawatirkan tentang siapa yang harus cuci piring, bagaimana sulitnya mencari nafkah di luar rumah, siapa yang paling bertanggung jawab dalam mengurus anak dan seperti apa itu wujud berbakti pada orang tua. Setiap karakter dalam ‘Tangerine’ tidak terhakimi di persoalan siapa yang lebih baik dalam menjalani hidupnya sejak dimulai hingga berakhirnya kisah mereka.
Karakter-karakter hebat selain Ibu Aesun yang harus meninggal di usia 28 tahun sebagai seorang hanyeo dengan resiko kesehatan yang tinggi, adalah nenek Aesun yang harus hidup lama agar dapat memberikan amunisi terakhirnya kepada Aesun dan Gwansik. Bahkan, paman Aesun dan Bu Sang Gil yang digambarkan sangat patriarki pun, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sistem terapuh yang selama ini dijalankan tanpa pemahaman yang lebih menyeluruh. Sistem yang tidak berminat mempertanyakan lebih jauh kenapa perempuan harus hidup dalam kekalahan-kekalahan kecil setiap hari, baik itu di rumahnya sendiri, saat bersekolah, dalam bekerja dan bagaimana pernikahan dinarasikan sebagai wujud kebaktian pada suami dan keluarga besar semata. Suatu sistem yang melahirkan laki-laki pengecut secara terus menerus dan menumbuhkan perempuan-perempuan yang selalu merasa lebih unggul karena lebih mengutamakan atribusi ‘kebaktiannya’ (berkedok religius maupun tradisi) dibanding perempuan terlabel 'egois' yang mengutamakan cita-citanya untuk bersekolah atau merintis karir tertentu. Hmm, so sad. *Persinggungan tersebut disebutkan dalam tulisan ini bukan untuk dipertentangkan sebab kesempatan setiap perempuan bisa berbeda, maka dari itu setiap tindakan dan pandangan masih bisa diurai secara lebih lanjut dan tidak didasari oleh kekeliruan yang mengakar.
Ibu Aesun tidak ingin Aesun hanya mempunyai satu atau dua pilihan hidup sebagai hanyeo maupun sekedar menjadi 'istri seseorang', dan Aesun tidak ingin Geumyeong putrinya berada di keluarga baru yang hanya akan menempatkannya pada situasi-situasi yang hanya peduli pada kemahiran menuangkan sup ke mangkok setiap orang saat sedang makan malam. Kenapa ya beberapa orang itu harus dituangkan sup nya, atau dicucikan piringnya padahal punya tangan sendiri? Apakah berburu di luar rumah harus dinilai setinggi itu dibanding dengan ‘tidak seberapa’nya pekerjaan rumah ini? Atau, hal-hal yang berbau rumah tangga itu memang dicirikan selalu khas dengan pertunjukan-pertunjukan semacam ini sebagai ajang penilaian yang kurang relevan tetapi harus dilakukan secara terus menerus dalam setiap perhelatan? Tentu saja, tidak perlu lebih jauh mengejewantahkan lapisan teori Karl Marx terhadap relasi kerja dan reproduksi dalam tulisan ini. Toh, saya bakal ikutan pusing juga. Yang jelas, setiap orang mempunyai pe-er nya masing-masing dan hal itu sudah dilakukan oleh seorang pemuda kampung bernama Gwansik tanpa perlu membaca tentang Nietzsche atau Rumi. Gwansik memilih menunjukkan reaksi yang tepat terhadap kekonyolan keluarganya sendiri dalam memperlakukan Aesun. Dimana Aesun sendiri telah menahan perlakuan dan ucapan mertuanya di belakang Gwansik. Ya. Penting bagi Gwansik untuk memperlihatkan sikapnya sebagai bagian dari pertunjukan itu sendiri. Pertunjukan yang menunggu seorang laki-laki dengan kepekaan seperti Gwansik agar memutus rantai yang terdapat pada kaki, tangan dan mulut perempuan dalam setiap kumpul keluarga. Setiap gestur kecil Gwansik yang difokuskan ke dalam momen-momen tersebut membuat Aesun senantiasa bagai kelopak bunga yang selalu bisa menunjukkan warnanya tanpa ragu apapun yang dialaminya, siapapun yang dihadapinya, dan dimanapun ia berada.
Disinilah kita, para wanita yang penuh dengan harap-harap cemas terhadap sosok pasangan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; Apakah kami sedang tumbuh ke arah yang sama? Dimanakah nantinya kami akan bertemu kembali setelah perbedaan tertentu? Apakah ia mengerti dengan apa yang kumaksud dalam pembicaraan tadi? Bagaimana cara mencintainya di saat bahkan sulit untuk mencintai diri sendiri pada masa tertentu? Melihat Aesun dan Gwansik, seperti memberikan keberanian yang mampu tumbuh secara ajaib dalam perasaan bersalah tanpa takut melakukan kesalahan. Keberanian aneh yang sulit digambarkan dalam menjalankan kehidupan berpasangan, merawat anak, menjadi orang tua hingga menjadi pasangan yang saling memandang di usia senja. Tidak ada ketakutan dan pertanyaan tentang keraguan yang begitu berarti dalam menonton Aesun dan Gwansik. Di seantero pulau jeju, mereka dikenal sebagai dua individu tekun yang mampu bercocok tanam di lahan yang gersang.
Aesun, seorang gadis sastra yang malu-malu menjajalkan kubis jualannya, dalam perjalanannya berubah menjadi sosok yang mampu menjadi penyedia jasa memotong cumi-cumi di usia senja. Gwansik yang berhati baja, masih sibuk memperhatikan agar kursi Aesun tetap empuk dan hangat saat duduk berjam-jam di gerbang pasar. Gwansik telah menjadi rumah terhangat yang didambakan Aesun dan Aesun telah menjadi layar kapal yang selalu membentang luas bagi Gwansik. Mereka adalah pasangan yang jauh dari akses dan sistem pendidikan yang layak baik secara formal maupun informal namun terus berkembang secara gigih dalam merefleksi setiap langkah dan jeratan trauma generasi yang membelit keyakinannya. Angan demi angan terus terajut dengan seksama dalam 'When Life Gives You Tangerines'. Dan hanya dibutuhkan satu mimpi untuk memulai segala harapan didalamnya. Bukankah cita-cita sesederhana keinginan untuk menulis puisi di samping buku kas rumah tangga telah mengantarkan kemiskinan menjadi pembelajaran terindah yang patut diperjuangkan?
*When Life Gives You Tangerines memberikan beragam hal yang bisa dibahas dalam kajian gender yang memiliki banyak lapisan yang tentu saja tidak tercakup dalam tulisan ini. Dalam review 1.300an kata ini, penulis hanya ingin mencurahkan kesan terdalam secara subjektif sebagai individu yang mengagumi teknik penuturan cerita tertentu dengan kesadaran bahwa dalam diskursus gender dan penyampaian ceritanya, terdapat taktik maskulinitas, maupun jebakan tertentu yang bisa dilakukan sebagai salah satu cara yang cukup efektif dan hal tersebut sah sah saja ketimbang memborbardir perjuangan perempuan dengan cuitan-cuitan sumbang yang bisa menjerumuskan perempuan ke bias gender itu sendiri. Sehingga dalam hal ini, penulis ingin menegaskan bahwa, bias gender baik terhadap laki-laki maupun perempuan, patut dihindari sebagaimana femininitas dan maskulinitas sebaiknya berjalan beriringan tanpa berat sebelah. Misalnya, terbiasa dengan sesat pikir dan cacat logika yang seringkali menimbulkan pernyataan-pernyataan dangkal semacam; 'film nya bagus karena penulisnya perempuan', 'filmnya bagus karena diperankan oleh Park Bo-Gum yang terbukti feminis sejak kemunculannya', dan lain sebagainya. Tanpa ingin mengkritisi 'society' terlalu runyam dengan persoalan membosankan yang berulang disitu-situ saja, tulisan ini hanya ingin ikut serta dalam keberhasilan aktor-aktor di dalamnya sebagai suatu kerajinan yang hangat dan menggugah (termasuk IU dan aktor perempuan lainnya, atas kegigihan yang sudah tidak perlu lagi saya jabarkan dalam tulisan ini).
keywords: toxic masculinity, toxic femininity
Komentar
Posting Komentar