Menjadi Manusia Bebas Sampah, Bukannya Bebas Nyampah?
Berulang kali saya coba berpikir. Apakah judul di atas terlalu keras, apakah ia membuat ketersinggungan, apakah itu ketersingungan yang baik? apakah sudah cukup memukau? ataukah sama saja seperti sampah-sampah lainnya? Perlu saya sampaikan sejak dini, bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk menyalahkan sampah-sampah yang ada, yang berwujud manusia pun literally (biar apdet) sampah itu sendiri. Namun jika ada ketersinggungan yang baik setelahnya, maka itulah hal yang paling memukau selamanya, saya yakin pada hari itu, langit pun ikut mencatatnya. Melewati perihal masing-masing tadi saya akan perlahan, memulai pada diri saya sendiri. Hanya karena saya ingin membebaskan diri dari judul tersebut. Melakukannya tidak membuat saya menjadi lega apalagi heroic, tidak, bukan hanya karena saya masih makan ayam potong atau belanja di convenient store, bukan juga karena saya masih hidup dan masih menghasilkan limbah-limbah tinja dan sampah mikro yang belum bisa saya pertanggungjawabkan, tetapi karena tidak ada gunanya semua ini, jika mama, kakak, maupun orang-orang di sekitar saya tidak memahami kenapa saya melakukan ini sementara mereka masih tidak melakukannya, dan akan sama saja makin parah saja kegagalan saya jika ada yang tersinggung tidak secara baik dan benar untuk dirinya sendiri. Sehingga sebenarnya tulisan ini tidak hanya ditujukan sebagai catatan atau laporan pertanggungjawaban diri sendiri, tetapi juga berharap untuk menyentuh kalian. kita semua.
Saya adalah seorang mahasiswi dari Departemen Antropologi Unhas pada waktu itu, tahun 2012. Dengan semangat yang menyala untuk bermacam-macam produksi film, bersepeda mencari buruan pada tahun 2013 sepeda saya terhenti "nyciiiittt!", saya ‘melamar’ seorang Ibu yang tinggal di pinggiran Makassar untuk menjadi subjek film kami, beliau adalah seorang pengumpul sampah. Bekerja membangun rumahnya yang tampak seperti rumah bongkar-pasang, terdapat sofa bekas yang ‘mewah’ menghadap pinggir jalan kecil yang di seberangnya berjejer 2 kontainer besar tempat warga Mariso membuang sampahnya disana. Ibu Saidah masih sangat kuat dan lincah pada waktu itu. Alhasil, selain berbicara mengenai persoalan reklamasi pantai, secara tidak langsung film itu juga merekam isu lingkungan dan sampah. Berlanjut pada perjalanan-perjalanan lainnya di pinggir sungai Mahakam, hingga ke hutan karet di Sumatera, sampah selalu ada disana, menghantui saya dari ilir ke ulu. Bahkan untuk hidup sendiri pun, saya menjadi redup saat ini. Sebab saya masih menjadi manusia yang bebas nyampah, bukan bebas dari sampah. Dan usaha untuk mengorganisir sampah di rumah, dimanapun saya hidup adalah satu dari sekian banyak cara untuk mengobati diri yang akan membuat gemas sepanjang waktu. Saya tidak akan heran jika pekerjaan saya adalah seorang pengumpul sampah. Tolong bayarannya dinaikkan! Bukan karena narsisme saya, tetapi karena pekerjaan itulah yang paling layak dibayar mahal ketimbang kerjaan keren-kerenan lainnya.
Merekam Indonesia berarti juga merekam sampahnya. Dimana pun, on camera maupun offline, menjalar ke sistem produksi, sistem kebersihan kita sendiri. Saya tidak perlu menuliskan persoalan kiat-kiat mengolah sampah disini tetapi betapa memuakkannya pemandangan keseharian ini dan betapa lelahnya saya pada diri sendiri yang bukan saja tidak bisa menutup mata perihal itu tetapi juga betapa seringnya saya meluapkan kemarahan akhir-akhir ini. Saya tidak bisa berbicara persoalan kesejahteraan perempuan, anak, pangan, tetapi saya tidak memperlakukan sampah sedemikian rupa. Saya tau. Saya tau. Kamu tau. Kalian tau. Hal-hal praktis beda tempatnya dengan hal-hal yang kritis, tetapi itu bukanlah alasan untuk tidak mensinkronkan idealisme dengan tindak tanduk kita terhadap tinja sendiri. Kotoran manusia berbeda dengan kotoran hewan lainnya, dan paling rumit untuk bisa ditanggulangi alam ketimbang kotoran sapi yang hanya makan rumput, oh! bahkan sapi-sapi itu yang makan sampah plastik kita di gunung serta di kota-kota besar seperti ini yang sebenarnya juga adalah bagian dari gunung dan laut!
Kamu bisa berargumen persoalan covid-19 dan sebagian besar adalah kesalahan kita, tapi ‘makan’ sampah sendiri saja tak mau. Saya usahakan untuk tidak melebar ke persoalan lain mengenai expenses atau keputusan pengeluaran, kita masih membahas sampah yang tidak yang secara gamblang, bahkan hingga hari ini pun mengorganisir sampah sendiri membuat saya tetap saja merasa sama tidak bergunanya dengan kalian yang saya asumsikan tidak mengurus sampah sendiri. Saya tidak mampu mengurus gunung sampah di antang. Yang sewaktu kebakaran disana bau sampah merebak bukan hanya di Makassar tetapi juga Gowa, hingga Maros dan sekitarnya. Bermalam-malam dengan asap sampah yang mencekam dan itu saja belum cukup untuk menghantui kita. Seorang kawan yang juga konsen soal sampah berkata bahwa hal ini sederhana saja, seperti menabung. Kamu melihat ada satu bungkus disana, yang lain akan mulai menambahkannya. Tetapi jika bersih, maka tidak akan ada apa-apa disana. Mengapa bentuk pengelolaan seluruh jenis sampah di kota ini masih tidak ada? Atau, setidaknya tercitra dengan baik di model-model instansi pendidikan seperti Unhas, pelaku seni, atau NGO2 terlebih dahulu? Apakah karena disitulah letak keindahan seni kehidupan manusia? Rasanya betul juga. Kamu dan saya sama saja. Kita semua sama. Maka mari mengutip perasaan Dr. Strangelove; How I Learned To Stop Worrying And Love The Bomb. Rayakan diri kita manjadi manusia bebas nyampah karena kalau bukan sekarang, kapan lagi bukan!
Komentar
Posting Komentar