Perjalanan Tidak Mempercayai Kaki Sendiri

Aku pergi bersama seseorang. Sama seperti cinta lain sebelumnya. Ia juga datang dan mengalir begitu saja. Kali ini, aku lebih senang untuk menyebutnya dengan kata menjemput. Menjemput segala kewarasan dan kegilaan yang terjadi dalam hidupku sebelumnya. Begitu cepat. Aku terpukau dalam setiap kata dan langkahnya yang terlihat pasti. Menuju kebebasan ia bilang. Kebebasan yang sulit ditemukan persamaannya melalui terma-terma yang dipahami orang-orang katanya. Dan ia tidak malu mengungkapkannya menggunakan kata cinta. Dan aku sungguh takut untuk terjebak kembali ke dalam kerinduan. Langkahnya menuntunku menuju pedesaan terdalam dimana orang-orang di bawah kaki gunung itu tidak jauh berbeda dengan orang-orang di perkotaan yang kami hadapi sebelumnya. Hanya saja, mereka lebih ramah dalam menjamu tamu, dan penuh dengan ketidak-enakan. Ia sangat memperhatikan hal-hal demikian saat berkunjung, sedangkan aku begitu terpaku dengan kemewahan udara yang kudapatkan disana. Aku hampir tidak mengetahui apa yang membawaku ke tempat ini, mengikut tuntunannya dan percaya saja. Sudah lama sekali sejak aku tidak menjadi sesosok yang spontan seperti ini. Kukira ia sudah hilang, pergi ke suatu tempat tanpa gelombang yang riaknya tak mungkin kucapai kembali.

Aku sudah cukup tua. Begitu kataku pada setiap langkah usai penanjakan. Bebanku cukup berat kurasa. Aku Sudah cukup tua. Basa-basi menjadi semakin usang terhadap persediaan kosa kataku. Dan sudah lama pula, aku tidak mempercayai terma kebebasan bersama seseorang. Bebas bersama seseorang. Tawa ku hanya bisa pecah di dalam dada. Semakin besar lagi sebab mengingat bahwa aku sudah hampir tidak bisa menangisi apa pun. Aku melihatnya seperti secarik kertas putih. Mungkin ia melihat dirinya sebagai tinta nya juga. Dan saat ia memintaku untuk menuliskannya bersama, aku seperti tidak ingin menggoreskan apa pun pada kertas itu. Goresanku lusuh. Jariku cacat dan memiliki kelainan yang kuhitung puncaknya sejak tahun 2016. Mungkin sejak kecil. Aku takut kelainan itu menjalar terhadap sesuatu yang sungguh disayangkan jika nanti kita akan menyesal. Aku merasa lebih berpengalaman dari siapa pun bersama cerita-cerita yang ku kunci rapat selama ini. Cerita yang terbuka lebar tapi hanya aku yang mengerti. Kubiarkan diriku terjerat dalam lingkar keegoisan. Begitu kata mereka. Tak apa. Sebab begitu lebih aman. Begitu pikirku. Aku ingin bertahan di dalamnya.

Dan jika ada yang ingin bersama ku, ia akan terperangkap di dalamnya. Di antara semua kontradiksi yang ada. Pikiranku kotor dan aku tidak meminta siapapun untuk membersihkannya. Dan jika Tuhan menyediakan satu lembar kertas kosong untuk dijanjikan menjadi sebuah buku nanti, kuingin membiarkan buku itu kosong saja. Sebagai bentuk penghargaan bahwa Tuhan masih membiarkanku hidup bahkan memberikan satu hadiah lagi. Yang kupercaya sebagai wujud kebebasan. Kebebasan yang telah lama kuyakini dan kini menuntut untuk dilepaskan ke dalam bentuk yang baru dan tidak ingin sendiri. Orang ini. Aku menyepelakannya karena memiliki bentuk keluarga yang utuh terhadap Ayah dan Ibu yang membesarkannya. Tapi aku juga menyepelekan orang lain dengan bentuk kebodohan yang sama. Karena memiliki perpecahan terhadap kehadiran Ayah dan Ibu, tapi tidak sebanding dengan dirinya yang banyak belajar tentang kehidupan sesuai dengan standar yang kuciptakan idealnya. Dan hanya akulah yang paling benar terhadapnya.


Langkah-langkah ini adalah kemewahan yang tak mungkin bisa kudapatkan penyatuannya bersama orang lain. Kupikir ia tak terbandingkan. Dan aku marah. Marah ketika ada yang membandingkannya. Dan aku ingin lari. Lari. Lari bersamanya. Menjaga diriku tetap abu-abu. Dan membiarkannya menjadi warnanya yang mungkin merah. Hitam. Atau putih saja. Lalu aku menyentuhnya dan bertanya. Seberapa jauh lagi. Ia menjawab, kau lihat pohon yang daunnya habis di atas sana itu? Tujuan kita ada di bukit sebelahnya. Bukit dan bukit lagi. Sudah terlalu banyak bukit-bukit tak terlihat yang telah kita lalui. Gunung ini terlalu malu dalam persembunyian namanya yang besar. Aku ingin berhenti saja. Melemparkan tas punggungku dan menutup mata saja. Aku bergidik setiap kali kami beristirahat di batu nisan orang-orang yang mati disini. Ditemukan beberapa bulan kemudian. Ada yang masih berwujud bangkai. Ada juga yang hanya tinggal baju dan barang bawaannya saja, mungkin beserta tulang belulang. Orang-orang yang menghindar dari panasnya perkotaan, lalu mati akibat hipotermia disini. Mengapa aku bisa sungguh percaya pada setiap perkataan orang ini. Berulang kali ia menyematkan cerita persoalan tekad. Hanya tekad yang bisa membuat orang bertahan untuk sampai di atas, bagi sebagian orang yang menyerah di penghujung jalan seperti diriku kini. Hah. Tekad. Bahkan kemauan pun aku sudah tidak punya.

Aku tidak mempercayai kaki ku sendiri. Entah roh apa yang terus membuat ku bergerak. Yang kutahu sebentar lagi malam dan aku takut dengan suara-suara di tengah hutan. Berada di atas ternyata lebih mengerikan. Angin di atas 2830mdpl bukan main kencangnya. Seperti ingin merobohkan semua yang berada di atas. Bahkan untuk tidur pun susah. Aku hampir tidak bernafas pada pukul 1 malam. Tubuhnya sangat hangat dan aku ingin berada di atasnya. Mungkin aku bisa tidur jika menyentuhnya. Aku merasa sangat membutuhkannya dan sungguh sial jika aku harus merasa sendiri di tempat seperti ini. Besok kami harus pulang dan lusanya aku akan pergi meninggalkan kota ini. Jauh sebelum itu, disini, kami harus masak, makan dan melangkah turun. Oh Tuhan. Aku ingin disini saja. Atau mencari suatu tempat di sekitar sini. Kali berikutnya kami pergi bersama aku tidak ingin berpisah usai perjalanan. Aku ingin menerima kertas putih yang Engkau tawarkan dalam kesungguhan perjalanan ini. Ia lembut dan menyentuhku dengan takut-takut. Aku ingin percaya tentang keyakinannya. Dan ia tentu menolak keyakinanku yang ingin bias di antah berantah. Kecuali ia yakin juga padaku. Maka kan kusambut ia untuk berada di dalamnya. Tak terlacak. Hilang. Bahkan bisa juga mati. Jika pun tumbuh takkan terlihat. Tapi jelas adanya disana. Hal-hal yang sering kukatakan di awal. Mematikan. Agar tak ada yang menyesal.


Tentu saja kepulangan kami membawa harapan. Harapan-harapan yang jarang disebutkan dan takut kudengar. Kepergianku dan ketetapannya untuk menyelesaikan segala yang ada disana adalah salah satunya. Bahwa kami tetap terhubung. Setelah perjalanan magis dimana aku tidak mempercayai kaki ku sendiri.


Fictions, 2019

Komentar

Postingan Populer