Indonesia dan Komedi. Dan Hal Lainnya Yang Tidak Disensor.



Sule mengangkat kursi mini bar yang bisa saja terlihat seperti piala itu. Ya, dia menjadikannya piala untuk Nunung yang ceritanya memenangkan kuis mencocokkan satu kata tidak masuk akal ke dalam sebuah lagu. Contohnya Omesh yang mendapatkan kata ‘Maudy’ (Nama seorang penyanyi Indonesia; Maudy Ayunda) pada nomor 5 yang dipilihkan oleh Parto, lalu Omesh memasukkannya ke lagu “Mau dibawa kemana hubungan kita” (lagu yang juga dipopulerkan oleh penyanyi jazz solo Indonesia, Marcel). Omesh mendapatkan 52 poin dari hasil kreatifitasnya dalam mencocokkan kata ke lagu di salah satu show suguhan NET.TV yang berjudul Comedy Night Live, malam sabtu tadi. Saya beserta dua keponakan; Yesha, Keiko, dan seorang Pekerja Rumah Tangga; Elsye tertawa terpingkal walaupun sering, kami tidak mendengarkan satu-dua kata yang sedang menjadi lelucon pelawak kami pada malam itu. Yang paling jelas adalah, saya percaya, bahwa mereka hanya mengolok-olok perilaku mereka sendiri, di TV Show pada malam itu, melalui cara yang kreatif dan gesture menarik yang bersahabat. Menyebarkan tawa yang tercipta dari energy positif ekspresi, mimik, dan gerakan mereka. Pesona itu berputar di sekitar mereka. Kawanan ini mendapatkan bayaran yang sangat mahal untuk jenis lawakan serupa itu.

Setelah Nunung mengambil kursi bar tadi, ia pun memeluknya bagai piala, piala yang terbuat dari sebuah kursi bar dan tak terlihat aneh sedikitpun, tidak terlihat kebesaran di tubuh extralargenya. Dengan cekatan Sule mengambil kursi lainnya, menafsirkannya sebagai botol atau alat semprot suka cita yang diarahkan ke udara melalui gerakan dan ekspresinya yang bersemangat, serius, dan riuh. Parto, Omesh, Andre Taulani, menikmati candaan kedua temannya tanpa saling menimpali dan juga tidak begitu menunggu giliran karena semuanya terlihat mengalir begitu saja. Selayaknya apa adanya mereka. Tangisan haru Nunung yang sudah sejak tadi tiada henti ternyata diakibatkan oleh Sule yang menginjak kakinya. Klasik memang. Namun pergerakan tekhnis kamera yang memotong ke gambar padat kaki Sule yang menginjak kaki Nunung itu menjadi sangat berguna. Mereka menggunakan cut to cut yang berguna saat ini. Ditambah dengan pemanfaatan properti yang maksimal. Bukan hanya teriakan-teriakan, joget-joget tidak jelas, dan yang paling penting mereka tidak melibatkan masyarakat yang berkebatasan dari segi fisik atau finansial ke depan kamera, dimanilpulasi dengan uang dan kelucuan garing agar rela ditertawai.

Perbandingan selalu dibutuhkan untuk memilih mana yang terbaik. Apa yang pantas dan layak dikonsumsi. Terlebih lagi untuk ditertawai. Saya suka tertawa. Siapa yang tidak senang tertawa? Menonton Sule, saya tertawa, menonton Najwa Shihab juga sering tertawa, melihat perilaku orang di Instagram atau social media lainnya juga menjadi shortcut untuk tertawa, melihat diri sendiri di depan cermin juga tidak sulit untuk bisa tertawa. Tapi apa yang disuguhkan oleh satu-dua stasiun televisi dan programnya mengenai standar mereka untuk menertawakan sesuatu, sepertinya perlu disortir sedemikian rupa. Bisakah kami menyarankan sebaiknya paling banyak hanya ada 3 stasiun TV nasional yang disuguhkan di Negara tercinta ini? Toh tidak semua dari belasan hingga puluhan stasiun TV nasional yang ada saat ini juga bisa bersaing dengan kekuatan teknologi. Thanks to the internet!
Jika boleh, saya memilih siaran yang sejenis Metro Tv, selengkap NET.TV dan satu lagi stasiun TV nasional yang dibuat khusus untuk siaran anak-anak.

Sepertinya sangat benar bahwa selera tiap orang berbeda. Namun satu hal yang patut diyakini adalah selama yang namanya pedagang dan pembeli masih ada di muka bumi ini, yang berarti produsen dan konsumen juga masih bertebaran untuk hal apapun itu, produk, jasa, karya seni, informasi, dan lain sebagainya. Selera pasar juga sangat ditentukan oleh produsen, si penyedia. Agree for disagree. 
Mungkin selera atau kotak-kotak itu sudah terbentuk. Ah jaman sekarang manusia menjadi smakin dinamis såja! Revolusi bisa terjadi dimana pun, kapan pun, oleh siapa pun. Yang kurang hanyalah ketegasan untuk memilih apa yang layak dan tidak layak untuk dilakukan, digunakan, atau dibuang di era digital ini. Transformasi. Semua bertransformasi, pantai, gedung, remaja, pak polisi, es kelapa muda, sampai joget-joget bulan puasa di stasiun TV.

Indonesia memang tempat yang sangat nyaman untuk bersantai, peduli untuk tidak peduli, setuju untuk tidak setuju. Tempat sampah kita paling banyak hanya ada 3 jenis pada satu titik, itupun hanya dihitung jari di ibukota. Sisanya syukur jika ada satu di setiap sudut ruang kota. Tidak ada yang bisa mengalahkan betapa low-life nya kehidupan kita disini, bangun pagi, nongkrong di warung kopi, kerja pagi pulang sore, bercinta, tidur, ngalor-ngidul lagi di warung kopi, ada juga yang tinggal seloyoran di club malam atau nungging sana sini di social media. Semuanya serba nyaman. Tidak perlu berpikir tentang musim dingin akan datang dan sebentar lagi kita akan kekurangan air dan bahan makanan. Tidak perlu berpikir yang tidak penting tentang tempat sampah orang jepang ada 5 jenis di tiap titik dan mereka punya banyak tempat sampah 5 jenis itu dan tempat isi ulang air minum di setiap ruang.

Terimakasih untuk Nunung, Parto, Sule, Andre Taulani, Omesh yang sepertinya disiapkan untuk meregenerasi mereka, dan seluruh kru yang bertugas yang telah mengalihkan kenyamanan saya dari memandangi tempat sampah dan menertawakan akun social media orang yang amburadul dan identik dengan ketidakcocokan bahasa, paham, gambar dan suara.

Salam olahraga!


Komentar

Postingan Populer