Review Film Tabula Rasa

By : Andi F Azzahra
‘Tabula Rasa’ memang rasa yang baru bagi perfilman Indonesia di tahun 2014. Pada shot awal kau akan meragukannya secara keseluruhan, dan walaupun bukan prolog yang memukau untuk membuatmu tetap tinggal, tapi karakter-karakter yang ada di dalamnya lah yang akan menuntaskan perjalananmu pada film ini. Prolog yang “sederhana” itu tanpa disadari membuatmu bertanya, akhir seperti apa yang akan disajikan oleh setiap komposisi dan sosok yang terlibat dalam karya ini.

Penggabungan yang menarik antara dua etnis yang “jauh” berbeda, bukan hanya dari tatanan budaya tapi juga jarak yang mewakili Indonesia. Sumatera dan New Guinea. Hubungan emosional yang terasa begitu kuat antara sesama perantau yang “terdampar” di Pulau Jawa. Film ini tetap mempertimbangkan rasanya dengan hati-hati untuk menunjukkan realitas sosial pada tiap adegan. Ada beberapa shot yang mungkin sudah bisa ditebak seperti ritme yang digunakan pada adegan ketika Mak sakit dan ia sendiri yang tinggal memasak di dapur. Ya, shot itu memang mudah saja ditebak tapi sekali lagi meskipun lebah mati, ia tetap memiliki fungsi sebagai sebab dan akan menimbulkan akibat yang berkelanjutan dari kematian itu. shot ini akan membuatmu menyimpan kemungkinan-kemungkinan lain, tapi itu justru akan membuat semuanya terbayar dengan sempurna. Berbagai ekspektasi itu akan disyukuri karena terbantahkan melalui penempatan karakter, emosi pemain, teknis kamera, tata lighting, artistik, soundtrack-soundtrack menyenangkan, serta penuturan yang tidak kurang dan tidak berlebihan. Cukup untuk langsung membawamu ke rumah makan Padang setelah keluar dari bioskop.

Beberapa shot yang indah menunjukkan New Guinea sebagai salah satu kebanggaan maritim Indonesia, dengan penempatan yang sangat pas dan bukan hanya untuk “gaya-gayaan” semata, tapi sesuai dengan Miss en Scene akan perasaan Hans pada resolusi cerita Tabula Rasa. Saya tidak akan menjadi spoiler yang terlalu bejat disini, jadi saran saya adalah bebaslah mengartikan setiap karakter dan adegan film ini utamanya pada empat tokoh yaitu Mak Uwo, Hans, Pak Parmanto, dan Natsir. Bahkan termasuk sosok seorang kakek sebagai pemeran pendukung yang memesan gulai kepala kakap, dan silahkan analisa dimana dan bagaimana kebahagiaan diraih pada film Tabula Rasa misalnya melalui pendekatan yang dilakukan salah satu adegan tentang “makanan ketika dijadikan sebuah bisnis yang dengan segala pertimbangan rasa dan seorang kakek yang mencobanya” ala Tabula Rasa. Emosi-emosi seperti bahagia, marah, sedih, dan sebagainya itu tidak hanya dirasakan pada permulaan atau harus jelas pada akhir film, karena setiap rasa memiliki cara dan ceritanya masing-masing dan setiap shot Tabula Rasa membuat rasa itu menjadi lebih nyata dan dekat dengan sedikit orang yang memiliki petualangan seperti ini.

Warna yang menggugah selera. Adakah beberapa shot yang ketahuan diakali untuk mengambil extreme high angle di atas tungku pemasakan dalam film ini? Yang jelas dalam menggambarkan orang Papua tidak lengkap tanpa budaya humor MOP yang mereka miliki. Hanya saja, satu cerita MOP yang dipilih  telah terlalu umum padahal masih sangat banyak mop-mop lain yang belum tersebar atau kecil kemungkinan telah didengarkan oleh banyak orang. Ending film? Silahkan temukan sendiri dengan mengapresiasi nya di bioskop saat ini juga. Kesempurnaan yang pas untuk hasil akhir Tabula Rasa.


Apresiasi bukan hanya untuk pencipta karya, bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk diri Anda sendiri.

(this is my first published movie review. so if theres any criticize or some point that you disagreed about - please, feel free to share on this blog)

Komentar

Postingan Populer