Sebuah Perjalanan di Sabtu Pagi
Jumpandang, 21 Desember 2013
Pagi ini,
seseorang yang disebut Ayah itu mengantarku pergi ke kampus. Letaknya sangat
jauh dari rumah yang tidak kutinggali dengannya. Hujan adalah hal yang
mengiringi kami di sepanjang perjalanan. Aku muak dengan hujan yang selalu saja
menjadi teman di masa-masa yang sendu. Selama hampir selamanya, pada belasan
tahun terakhir dalam hidupku, ini adalah kali pertama saat aku betul-betul
menghabiskan waktu bersama seorang pria dewasa. Laki-laki yang telah melalui
banyak hal. Seorang laki-laki yang seharusnya paling dekat denganku. Dan
ternyata aku bisa berpikiran seperti ini, walaupun itu hanya satu perjalanan
menuju kampus. Dan baru kali ini, aku benar-benar berharap perjalanan menuju
kampus bertambah berkilo-kilo meter lagi.
Ada banyak
pembicaraan yang cukup untuk kami berdua. Beberapa jeda diselingi dengan diam, dan
suara wiper atau sign mobil. Seandainya saja jalan semakin memanjang, mungkin
akan ada waktu dimana aku bisa memeluknya pagi ini. Menyimpannya, benar-benar
merasakannya, tidak hanya melihat lewat foto album balita dan membayangkan
seperti apa rasanya dulu di saat aku belum bisa mengingat tentangnya. Tapi ini
sudah lebih dari cukup. Bahkan jika kami hanya menghabiskannya dalam diam.
Setidaknya Tuhan memberiku waktu untuk menatap kerut-kerut yang semakin
meneduhkannya itu. Aku penasaran kenapa Ibu terkadang mengingatkan bahwa aku
memang sangat mirip dengan Ayah. Kemiripan itu aku akui dari segi fisik, hanya
saja untuk watak, tidak ada yang benar-benar ingin mempunyai kemiripan
dengannya. Namun suatu hari, aku juga ingin memiliki kerut itu.
Apapun yang
dikatakan orang atau apapun yang telah dilakukannya. Kali ini, Ia ada dan hanya
bersamaku. Petuah-petuah yang dikatakannya tidak jauh berbeda dari
petuah-petuah yang dikatakan setiap Ayah pada setiap Putrinya. Kemudian Ia menanyakan
bagaimana keadaanku, lalu kami mulai membicarakan tentang seseorang yang pernah
dicintainya, atau mungkin masih. Lalu Ia bercerita tentang seseorang yang
sekarang menemaninya, yang mungkin Ia cintai. Kemudian aku mengutarakan sebuah
pernyataan gila tentang pernikahan, dan mungkin aku tidak akan memilikinya.
Atau rasa itu, apapun itu. Lalu Ia kembali mewejangiku dengan petuah-petuahnya
tentang itu. yang agaknya, Ia hampir menyampaikan bahwa tidak ada yang salah
dengan masa lalu, seperti tidak ada yang salah dengan beberapa detik
sebelumnya. Toh itu sudah tidak bisa ter-ulang. Yang salah adalah ketika kita
tidak menyesalinya untuk menyelamatkan apa yang kita miliki sekarang, atau
ketika kita terlalu larut untuk hanya menyesalinya saja.
Lihat itu.
" Aku muak dengan hujan yang selalu saja menjadi teman di masa-masa yang sendu" saya kira kau spesialis penikmat hujan. :p
BalasHapusjadi kenapami? janganko lupa nonton rahasia ilahi nah (;
BalasHapusmau jka nonton rahasia ilahi asalkn soundtrack filmnya itu forgotten ;)
BalasHapusmasterpiece!
BalasHapus