high school memories #part1
Entah kenapa Guru
Bahasa Indonesia dan Guru Kesenian di masa SMA selalu menyenangkan. Mereka
keren, baik, mengasyikkan, pecinta damai, dan mengerti hampir semua tipikal
muridnya. Tidak untuk Ariska. Kali ini Ia protes berat terhadap kebijaksanaan
yang baru saja diberikan Bu Aswati untuk nilai Bahasa Indonesia-ku. Kami
diminta menghafal empat jenis majas sebagai ujian lisan Bahasa Indonesia.
Setelah melalui tiga paragraf dengan lancar dan hanya melupakan sedikit bagian
pada paragraph ke-empat, Bu Aswati dengan bijak memberiku kesempatan untuk
mengulang paragraph ke-empat dan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku
rasa itu pantas saja, sebab Bu Aswati tahu aku adalah anak yang berusaha akan
hal-hal seperti ini dan memperhatikan tugas dalam artian aku selalu mempunyai
bahan dan paling cepat mengumpulkan tugas Bahasa Indonesia dibandingkan siswa
lain. Di luar kemalasanku yang sering tidak mengikuti kelas akhir-akhir ini.
Ariska dan beberapa
murid lain, diminta mengulang seluruh hafalannya. Itu karena mereka memang
sudah tersendat sejak awal ketika menyetor hafalan. Lagipula, mereka memang
tidak menyamai kemampuanku sebagai siswa teladan di kelas Bahasa Indonesia.
Walaupun nilaiku biasa-biasa saja, aku pantas menyebut diriku sebagai siswi
yang paling teladan di kelas dalam mata pelajaran ini.
“Loh, loh. Ada apa ini? Kenapa Rayne bisa lulus?” Protes
Ariska dengan bibir manyun dan tatapan tidak terimanya.
“Ya. Karena dia berhasil menghafal tentu saja.” Jawab Bu
Aswati dengan santai.
“Tidak. Seharusnya dia juga mengulang. Bukankah kami semua
mengulang? Ini tidak adil.”
Bisa dibilang,
Ariska dan teman sekelas yang lain mungkin merasa Bu Aswati telah pilih kasih –
atau hanya Ariska saja mungkin – atau hanya Ariska yang berani mengatakannya.
Sungguh, Ariska telah berlaku tidak adil terhadapku. Tidakkah Ia seharusnya
berpikir professional? Ayolah. Ini terlalu memuakkan. Berapa usianya? Pertama,
Ia mengacaukan keasikannya sebagai gadis yang berusia muda dengan merusak
keberuntungan orang lain. Kedua, di satu sisi – pada umurnya yang sebentar lagi
akan beranjak dewasa, seharusnya Ia bisa lebih objektif menilai sesuatu atau
seharusnya Ia berkaca.
“Ayolah Ariska, itu sudah berlalu. Lagipula kasusku tidak
seperti dirimu atau anak yang lain.” Kataku berusaha menyelesaikan bahkan
ketika Ariska belum memulainya sedikitpun.
“Apa? Tidak. Bu Aswati pilih kasih.” Ariska mulai
menghakimi.
Dengan wajah tidak
menyangka Bu Aswati menatap Ariska, dan aku bersumpah saat itu juga aku
betul-betul merasa kasihan pada Bu Aswati yang harus menerima celoteh tidak
penting Ariska karena diriku. Aku bahkan rela mengulang hafalanku dari awal
agar Ariska bungkam saat itu juga.
“Tidak Rayne, aku tidak marah padamu. Hanya saja, dia memang
telah berlaku tidak adil.” Ariska berusaha membuatku merasa lebih baik ketika lonceng berbunyi.
Demi Tuhan. Aku
benar-benar tidak mengenal makhluk yang bernama perempuan, bahkan mengapa aku
berada pada raga ini. Tidak bermaksud bahwa aku lebih memilih menjadi
laki-laki, karena aku juga membenci spesies mereka. Hanya saja sebrengsek
apapun bajingan pria terhadap pelacur wanita, mereka pantas mendapatkannya.
Kemudian di hari
lain, aku telah berada di bangku paling belakang pada pelajaran matematika. Aku
betul-betul tidak habis pikir mengapa aku bahkan berada pada kelas ini dan
mempelajari persamaan matriks yang bahkan akan segera dilupakan dan tak akan
kugunakan tepat setelah lulus SMA nanti. Setiap pelajaran ini berlangsung, yang
paling setia menemaniku hanyalah halaman belakang buku catatan dan sebuah
pensil juga penghapus. Begitu Bu Tua itu sedang menjelaskan pada papan tulis
dan memarahi murid lain, aku tertawa dalam hati dan mencoret buku catatan
seakan aku sedang mengerjakan rumus paling sulit dari soal yang diberikan dan aku
terlihat sangat menikmatinya, kemudian berdoa semoga Bu Tua tidak akan
memergoki ku mencakar 2+2 dan pembagian 20:5 sambil menunggu operan catatan
dari murid yang paling semangat mengerjakan soal persamaan alien ini. Mengapa
mereka mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang tidak akan pernah terlupakan?
Bahkan seorang temanku berceramah tentang Ayahnya yang rela membayar berapapun
untuk bisa mengulang masa SMA. Ayahnya pasti telah melakukan banyak kesalahan
pada waktu itu dan ingin kembali untuk memperbaikinya.
Ketika pergantian
mata pelajaran kami kembali ke loker masing-masing sambil menunggu Guru
berikutnya lewat dan kami akan mengikutinya memasuki kelas. Loker kelasku
berada di lantai bawah setelah melewati ruang guru, sebelum menemukan kolam
ikan dan tangga. Lokerku sendiri sangat rapih dan bersih. Banyak loker yang
kunci dan gagangnya telah rusak, dan bagian luarnya tercoret sana-sini akibat
perbuatan anak lain yang pasti laki-laki, tapi tidak dengan lokerku, atau
mungkin belum. Jika jeda waktu pergantian pelajaran berlangsung lama, selain ke
kantin, aku memasukkan diriku di sela loker dan tembok. Tubuhku memang terbuat
untuk berada di kedua celah benda ini dan mereka sanggup menahanku, kemudian
aku akan terlelap kusam diantaranya. Beberapa murid mungkin ada yang memotret,
dan aku tidak akan mengganggu cara mereka untuk mengatasi kebosanan. Saat ini,
aku hanya memilih tidur untuk berdamai dengan kebosanan, dan semoga mereka juga
pengertian seperti diriku.
Komentar
Posting Komentar